Pelaksanaan Perjanjian Kredit
Pembelian
Kendaraan
dengan Jaminan Fidusia
Perjanjian kredit
merupakan perjanjian konsensuil antara Debitur dengan Kreditur (dalam hal ini
Bank) yang melahirkan hubungan hutang piutang, dimana Debitur
berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh Kreditur, dengan
berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak.[1] Dalam
Buku III KUH Perdata tidak terdapat ketentuan yang khusus mengatur perihal
Perjanjian Kredit. Namun dengan berdasarkan asas kebebasan berkontrak,
para pihak bebas untuk menentukan isi dari perjanjian kredit sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan kepatutan.
Dengan disepakati dan ditandatanganinya perjanjian kredit tersebut oleh para pihak,
maka sejak detik itu perjanjian lahir dan mengikat para pihak yang membuatnya
sebagai undang-undang.
Kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.[2]
Kemudian yang dimaksud dengan Perjanjian Kredit adalah perjanjian pemberian
kredit antara pemberi kredit dan penerima kredit. Setiap kredit yang telah
disetujui dan disepakati antara pemberi kredit dan penerima kredit wajib
dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit.
Perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.[3] Dari
perjanjian tersebut timbul suatu hubungan hukum antara dua pihak pem-buatnya
yang dinamakan perikatan. Hubungan hukum yaitu hubungan yang menimbulkan akibat
hukum yang dijamin oleh hukum atau undang-undang. Apabila salah satu pihak
tidak memenuhi hak dan kewajiban secara sukarela maka salah satu pihak dapat
menuntut melalui pengadilan. Sedangkan perikatan adalah suatu hubungan hukum antara
2 (dua) orang atau 2 (dua) pihak. Pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal
dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
itu. Pihak yang menuntut sesuatu disebut kreditor sedangkan pihak yang
berkewajiban memenuhi tuntutan disebut debitor.[4]
Saat ini, banyak
lembaga pembiayaan (finance)
dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi
konsumen (consumer finance), sewa
guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan
tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda
jaminan fidusia. Prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan
barang bergerak yang diminta konsumen (semisal motor atau mesin
industri) kemudian diatasnamakan konsumen sebagai debitur (penerima
kredit/pinjaman). Konsekuensinya debitur menyerahkan kepada kreditur (pemberi
kredit) secara fidusia.[5] Dengan
mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta
mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam
meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan
pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.[6]
Fidusia
adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda.[7]
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang
tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan
Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.[8]
Fakta di lapangan
menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan
mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya tidak dibuat
dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk
mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di
bawah tangan. Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka
ia dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat
penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekusi
ini bisa ditujukan kepada aparat kepolisian, pamong praja dan
pamong desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada. Dengan
demikian bahwa pembuatan sertifikat jaminan fidusia melindungi penerima fidusia
jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam
perjanjian kedua belah pihak.
Permasalahan:
1)
Bagaimana Pelaksanaan
Perjanjian Kredit Pembelian Kendaraan dengan Jaminan Fidusia?
2) Bagaimana Dampak dari
Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pembelian Kendaraan dengan Jaminan Fidusia?
Analisis
Yuridis tentang Tanggung Jawab Hukum terhadap Cek Kosong Ditinjau dari
Perspektif Hukum Perbankan Nasional
Pembayaran
menggunakan cek pertama kali pada tahun 352 sebelum masehi di Romawi, namun
baru tahun 1500 ditemukan bukti nyata adanya transaksi menggunakan cek di
Belanda, kemudian berkembang ke Inggris sekitar tahun 1700-an. Salah satu bank
memberikan nomor seri di sudut kanan atas cek agar bisa melacak keberadaan cek
tersebut, dan dari sanalah asal kata check.
Peredaran cek antar bank menjadi masalah terbesar di Inggris saat itu, meskipun
para kurir diberi tips untuk setiap pengambilan cek, namun tetap saja sistem
itu membuang waktu dan bertele-tele. Untuk memecahkan masalah tesebut para
kurir berkumpul di suatu tempat, istirahat dan saling bertukar cek dengan
sesama kurir bank (dan tentu saja berbagi tips juga). Dari kegiatan para kurir
tersebutlah lahir istilah 'Kliring' (clearinghouses).[9]
Cek adalah surat perintah membayar
sebagaimana diatur dalam Kitab
UU Hukum Dagang (KUHD).
Sedangkan, dijelaskan dalam situs Bank
Indonesia bahwa Cek adalah surat
perintah tidak bersyarat untuk membayar sejumlah dana yang tercantum dalam
cek. Penarikan cek dapat dilakukan baik atas nama maupun atas unjuk dan
merupakan surat berharga yang dapat diperdagangkan (negotiable paper).[10]
Dalam prakteknya transaksi ekonomi dan financial kerap kali menggunakan metode
transaksi melalui sistem cek, hal ini rentan dengan penggunaan cek kosong dalam
proses transaksi tersebut.
Cek Kosong adalah rubber check bounced check yaitu cek yang
ditarik atas suatu rekening yang dana atas
penarikan tersebut tidak cukup, bank dimungkinkan membayar penarikan yang
berlebihan (overdraft) jika nasabah
mempunyai hubungan yang baik dengan bank atau mempunyai fasilitas cerukan (overdraft) pada kredit, nasabah mungkin
masih dikenai biaya cerukan
untuk membayar biaya proses cek pada bank.[11] Cek/Bilyet Giro Kosong
adalah Cek/Bilyet Giro yang diunjukkan dan ditolak Tertarik dalam tenggang
waktu adanya kewajiban penyediaan dana oleh Penarik karena saldo tidak cukup
atau Rekening telah ditutup.[12]
Permasalahan:
1)
Bagaimana tanggung
jawab hukum terhadap cek kosong ditinjau dari perspektif hukum perbankan
nasional?
2) Bagaimana dampak hukum
yang timbul dari penggunaan cek kosong dalam sistem perbankan nasional?
3) Apa saja faktor-faktor
Penyebab penggunaan cek kosong?
3) Tinjuan
Yuridis Sertifikat Hak Milik (SHM) dalam Proses Balik Nama menjadi Jaminan Kredit
(Studi Kasus pada PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan dan Bangka
Belitung)
[1]Anonymous, www.legalbanking.wordpress.com, Perjanjian Kredit dan Pengakuan Hutang, diakses pada 1 Juni 2016.
[2] Lihat Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992
tentang Perbankan pada Pasal 1 ayat (11).
[3] Lihat Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pada Pasal 1313.
[5] Artinya debitur
sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur yang
dalam posisi sebagai penerima fidusia. Praktek sederhana dalam
jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang mengajukan
pembiayaan kepada kreditor, lalu kedua belah sama-sama sepakat mengunakan
jaminan fidusia terhadap benda milik debitor dan dibuatkan akta notaris lalu
didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia
akan mendapat sertifkat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur.
[6]Purwo Nugroho, 2007, www.hukumonline.com, Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia dengan Akta di Bawah
Tangan, diakses pada 1 Juni 2016.
[7] Lihat Undang-undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pada Pasal 1 ayat (1).
[8] Ibid, Pasal 1 ayat (2).
[9] Anonymous,
www.id.wikipedia.org, cek, diakses pada 1 Juni 2016.
[10] Lihat Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang atau KUHD pada Pasal 178 sampai dengan Pasal 229.
[12] Lihat Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 2/10/DASP tanggal 8 Juni 2000 tentang Tata Usaha
Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong.